Makna Kasepuhan

Panggilan “kyai” di Nusantara-Jawi itu setara dengan panggilan ‘simbah’ atau shaykh (شيخ), yang artinya sesepuh, the elder, the ancient, senior, yang dituakan, yang jadi patokan, penyangga atau tiang, atau sanad/sandaran atau penegak dan/atau standar (lihat pada Pencarian Standar Etika dan Akhlak sebagai upaya mencari kasepuhan dalam tradisi atau etika-&-akhlak atau tradisi berguru).

Kyai berasal dari istilah Kayun atau Kayon, yaitu pohon kehidupan, yang digambarkan sebagai “sejarah” karena kunonya. Kata sejarah sendiri dari kata شجرة berarti pohon di mana cabang-cabang dan rantai ranting-ranting yang bersandar satu dan lainnya terkait dan terikat dengan jaringan akar, dan jejaring fungus hingga ke pusat bumi, seperti rangkaian sanad atau silsilah. Pohon kehidupan ini digambarkan bahwa rangkaian akarnya menghunjam dalam, menggali hingga kedalaman makna dan esensi. Berkah dari rantai ini adalah mahkota yang memberikan buah pengetahuan dan kearifan. Dapat dikatakan pohon kokoh berdiri dan mampu menyerap makanan terbaik dari samudera pengetahuan hingga pusat bumi. Sedangkan mahkotanya dipenuhi dedaunan dan buah yang lebat pada ranting dan dahan di setiap percabangan yang menjadi berkah. Ilmu ibarat cipratan air dan yang tersimpan dalam buah bersama gula yang manis, yang memberikan manfaat bagi manusia dan selain manusia sepanjang tahun, memberi kesehatan jiwa dan raga, membersihkan nafs dan mengendalikannya.

Kayun atau kayon ini biasa digunakan manusia mendirikan bangunan, rumah tinggal dan tempat ibadah. Menegakkan manusia dan peradaban, kehidupan, pendidikan dan keadaban.

Kayun atau kayon ini berasal dari esensi dari kehidupan Al-Hayyu (ًالحي) yang dibabar Muhyiddin Ibn ‘Arabi dalam Al Futūhāt Al-Makkiyyah.

Kyai adalah kayun yang hidup dan menghidupkan. Dia adalah orang yang menempuh perjalanan pembukaan dan keterbukaan, penyingkapan-penyingkapan, dekat dan didekatkan