Tentang Khilāfah

Syaikh Muhammad Imarah, dalam kitabnya al-Islām wa Falsafah al-Hukm menegaskan bahwa term “khalifah” dan berbagai istilah terkait yang satu akar (satu wazan) banyak dijumpai dalam al-Quran, di antaranya pada QS. Shād: 26 sebagai berikut:

يَادَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Menurut Muhammad Imarah, term khalifah pada ayat ini tidak mengandung konotasi politik semata. Makna khalifah pada ayat tersebut ialah kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Daud yang berkaitan dengan kekuasaan-kenabian (al-Nubuwah, Profetik), bukan kekhalifahan berupa jabatan politik (al-Wadzifah al-Siyasiyah) yaitu kekuasaan yang diberikan manusia.

Kemudian dalam An-Nūr: 55

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa (menjadi khalifah) di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (menjadi khalifah), dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dharma agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Fāthir: 39.

هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ

“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.”

Al-A’rāf: 129

قَالُوا أُوذِينَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.”

Al-An’ām: 133.

وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَسْتَخْلِفْ مِنْ بَعْدِكُمْ مَا يَشَاءُ كَمَا أَنْشَأَكُمْ مِنْ ذُرِّيَّةِ قَوْمٍ آخَرِينَ

“Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi penuh dengan rahmat welas asih. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantikanmu (khalifah = pengganti) dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain.”

Pada ayat-ayat di atas, terdapat redaksi istakhlafa, yastakhlifu, dan khalaif, yang semuanya merupakan satu akar dengan redaksi khalifah. Makna-makna khalifah pada ayat-ayat di atas ialah kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada setiap individu manusia atau sekelompok manusia sebagai mandat atau amanat agar memakmurkan bumi. Oleh karena itu, kekhalifahan apabila disempitkan berupa jabatan politik atau sistem politik haruslah sistem yang memakmurkan bumi dan/atau pemimpin politik yang membawa pada kemakmuran bumi. Walhasil sekalipun tidak dinamai khalifah atau sistem khilafah namun dapat membawa kemakmuran bumi, semua makhluq di bumi termasuk jin, tumbuhan, hewan dan semuanya, sebagaimana Dawud as dan Sulaiman as, ya itulah esensi khalifah. Namun sebaliknya apabila ada sistem bernama khilafah dan dipimpin khalifah yang membawa kerusakan, kesengsaraan, ketidakadilan, nestapa, misalnya tidak selaras sunnatullah, melawan alam, tidak ekologis, maka itu hanya nama saja.

Kekhilafahan bukan kekuasaan yang diberikan oleh manusia dan hanya terbatas pada seorang penguasa atau kepala negara saja. Karena ini dari Tuhan. Oleh karenanya khilafah adalah maknawi bukan fisiknya. Energi sebelum menjadi materi.

Syaikh Muhammad Imarah juga mengatakan, dalam kaitannya dengan kepala negara atau penguasa pemerintahan, al-Quran tidak menggunakan term khalifah untuk menyebut seorang penguasa, dan lebih tepat sebagai term ulil amr. Secara bahasa “yang empunya perkara atau urusan”. Jadi bukan negara melainkan pemerintahan, dengan tugas-tugasnya.

Term ini ditemukan pada QS. Al-Nisa: 59 sebagai berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan (juga taati) ulil amri pemegang urusan pemerintahan di antara kamu.”

Sehingga dapat dipahami bahwa khilafah tidak berbicara politik. Meskipun maknanya holistik, politik adalah bagian sangat kecil dan tidak signifikan.

Konsep ulil amr memberikan spesifikasi politik dan lebih tepat didiskusikan apabila membahas mengenai politik.

Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan ulil amr juga mengacu khilafah karena harus menyajikan nilai-nilai universal dalam pemerintahan semisal adil (al-‘adālah), musyawarah (asy-syūrā), dapat dipercaya dan memberikan hak (al-amānah) dan lain sebagainya tanpa harus diembel-embeli istilah khilafah (atau sistem islami).

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.